LUKMANUL HAKIM DAN TUKANG KRITIK

.

Betapa dalam keseharian kita selama kurun 11 tahun terakhir ini, banyak sekali bermunculan para kritikus-kritikus tampil di hadapan publik, gaya bicaranya pakar semua, ahli semua, lihay semua, seakan menguasai semua permasalahan. Seakan kalau dia yang menangani urusan, beres semua. Sebaliknya, kalau urusan itu dikelola oleh orang lain, sekalipun orang lain tersebut adalah benar-benar pakar dibidangnya, tetap saja salah dimata pakar-pakar dadakan yang diberi gelar 'pakar' oleh para kuli tinta karena mereka sering malang-melintang di dunia pertelevisian kita dan media cetak nasional.

Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua "Mengingat plus mencermati" petuah Lukmannul Hakim, seorang arif bijaksana yang namanya diabadikan Sang Khaliq dalam Alquranul Karim kepada anaknya yang ceritanya begini...


Suatu ketika, Lukmanulhakim dan anaknya menempuh suatu perjalanan dari kampung A ke kampung E dengan mengenderai seekor keledai yang tidak terlalu besar, sedang-sedang saja. Kebetulan yang menunggang keledai adalah Lukman sementara anaknya berjalan menuntun tali keledai tersebut.

Begitu mereka berdua melewati kampung B, dan melewati sekelompok pemilik mulut usil (tukang kritik alias tukang cemooh), maka muncullah kritik dari pemilik mulut gatal yang mengatakan, "Wahai Lukman, teganya kamu, mestinya kamu yang berjalan, mengalah sajalah dengan anakmu, apakah kamu tidak kasihan dengan anakmu yang berkeringat berjalan. Sementara kamu duduk enak di atas keledai!!??"

Mendengar kritikan itu, Lukman pun turun dan disuruhnyalah anaknya yang duduk di atas punggung keledai, bergantian. Dan begitu mereka melewati kampung C, di sana pun mereka mendapat kritik alias cemoohan dari pemilik mulut gatal yang berada di kampung C yang mengatakan " Lihatlah kawan-kawan, betapa durhakanya anak Lukman. Dia enak di atas sementara bapaknya keringatan berjalan, dasar anak durhaka".

Dari kritik itu, akhirnya Lukman memutuskan dengan memilih menunggang keledai berdua sekaligus dengan anaknya supaya tidak ada lagi suara-suara sumbang. Namun sobat, ketika mereka melewati kampung D, kaum pengkritik alias pemilik mulut berulat yang ada di situ pun melontarkan kritiknya, " Hei Lukman, di mana kau taruh otakmu, apakah kamu berdua tidak kasian dengan keledai sampai-sampai kamu berdua tega menungganginya berdua, padahal keledai milikmu bukan keledai besar??!!"

"Wah salah lagi Nak," kata Lukman pada anaknya, "Lebih baik kita turun dan tuntun saja keledai ini agar tidak salah lagi di mata orang lain" kata Lukman lebih lanjut kepada anaknya. Namun lagi-lagi begitu mereka berdua melewati kampung E, eeeee...ee....., ternyata kriktik dan cemooh tetap juga datang dari para pemilik mulut berulat yang ada di kampung E. pengeritik mengatakan, " Ooii Lukman..., kenapa tidak kau manfaatkan saja keledaimu itu, mau-maunya kamu dan anakmu bersusah payah berjalan kaki. Sekiranya aku, pastilah kutunggani itu keledai karena fungsinya memang untuk ditunggang!!!

Nah sobat, dari cerita itu, dan dari kritikan-kritikan itu, kedengaran semuanya benar- dan memang benar apabila dipandang dari sisi si pengkritik. Karena si pengkritik pun tidak menguasai seluruh kronologis cerita perjalanan si lukman. Padahal apa-apa yang mereka lontarkan menjadi kritikan, sesungguhnya telah pula dilakukan Lukman dan anaknya. Namun karena si pengkritik tidak mengikuti secara utuh perjalanan Lukman, maka lahirlah kritikan-kritikan yang parsial alias sepotong-sepotong.

Oleh Karena itu, wasiat lukman kepada anaknya adalah, " Wahai anakku, apabila kamu di dalam mengambil keputusan, kebijakan, tidak semata-mata disandarkan kepada pendapat orang lain untuk ukuran kebenaran, tapi tanyakan pada hati nuranimu, laksanakanlah apabila benar dan tepat menurut nurani yang terdalam. Karena kalau didasarkan atas komentar dan pendapat orang-orang belum jaminan sebuah keputusan yang bijak dan arif. Karena kritikan mulut biasanya dilandasi oleh bermacam-macam unsur. di antaranya, ada unsur dengki, iri, arogan, mengecoh, menjebak, hianat, dusta dan sebagainya.

 
BAMARA ON CU AI